terangkan mengenai konsep kekuasaan di kerajaan islam nusantara

kerajaanislam tidak menganut sistem kasta sehingga tidak ada perbedaan dalam pergaulan antara bangsawan dengan masyarakatnya. meskipun tidak ada perbedaan islam mengajarkan untuk saling mengormati antara raja dan rakyat dalam sistem pergantian raja pada kerajaan islam tidak menggunakan hak keturunan melaikan semua orang dapat menjadi raja jika Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS konsep kerajaan islam. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Pemegang kekuasaan tertinggi di kerajaan: KINGDOM: Kerajaan (Inggris) SYARIAH: Hukum islam: BURAM: Rancangan; konsep: RATU: Pimpinan WilayahKekuasaan. Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah KerajaanHindu-Budha telah berdiri pad abad ke-V M, sedangkan kerjaan islam baru berdiri pada abad ke-13 M. Kerajaan Hindu-Budha memiliki perbedaan konsep kekuasaan dengan kerajaan Islam. Tranding : Politik etis tahun 1901 merupakan upaya balas budi pemerintahan Belanda terhadap bangsa Indonesia melalui program Pengislamancara begini jelas digambarkan oleh Marco Polo dalam laporannya tentang perkembangan Islam di Perlak. Beliau mengatakan pada sekitar tahun 1293 M itu kebanyakan penduduk kota Perlak telah Islam. Marco mengatakan pedagang-pedagang Islam telah berjaya memujuk penduduk tempatan Perlak untuk memeluk agama itu. Mit Frauen Flirten Und Sie Verführen. Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam di Indonesia – Bagaimanakah Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan-Kerajaan Bercorak Islam Di Indonesia ? Itulah pertanyaan yang akan kita bahas pada tulisan ini. Pada abad XIII M, XIV M, XV M, dan XVI M, di beberapa daerah Indonesia muncul dan berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam. sebagian ada yang wilayahnya mirip dengan negara kota citi state atau polis, sebagian lagi dapat berkembang menjadi kerajaan besar. Pada umumnya pusat pemerintahannya di daerah pesisir kecuali Pajang dan Mataram. Sumber utama pendapatan kerajaan pesisir adalah dari kegiatan perdagangan dan pelayaran. Contohnya adalah Samudera Pasai, malaka, Lamuri, Siak, Banten, Cirebon, Demak, Gersik, Banjar, Gowa, Tidore dan lain-lain. Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Bercorak Islam Dalam pandangan sebagian masyarakat, raja dipandang sebagai wakil Tuhan di dunia. Patuh dan taat kepada raja disamakan dengan patuh kepada Tuhan. Dilihat dari prinsip kekuasaan yang menjadi dasar kedudukan raja, terdapat kerajaan dengan sistem tribalisme dan patrimonialisme, dan sistem despotisme. Sistem yang pertama Tribalisme dan patrimonialisme berintikan hubungan patrionclient antara raja dengan rakyat, sedangkan sistem yang kedua depotisme terjadi karena format kerajaan sudah menjadi lebih besar dengan birokrasi yang kompleks, dan kekuasaan terpusat pada raja. Dari beberapa sumber serat, kita dapat mengetahui bahwa pribadi raja bersifat sakral keramat dan penuh kharisma. Menurut kitab Niti Sastra Zaman Mataram, raja adalah unsur mutlak untuk menjamin ketertiban dalam suatu masyarakat. kedudukan raja berada di atas hukum. Dalam Niti Praja, diumpamakan bahwa raja adalah dalang sedangkan rakyat merupakan wayangnya, raja berkuasa penuh terhadap rakyatnya. Hal ini cocok dengan ajaran Wulung Reh, bahwa raja menguasai sandang pangan dan hidup matinya rakyat. kedudukan raja telah dikehendaki Tuhan untuk berkuasa di seluruh wilayah negaranya. mengabaikan perintah raja berarti mengabaikan perintah Tuhan. Dalam Serat Sewaka disebutkan bahwa sesuatu dari raja perlu diterima sebagai restu. bahkan dalam Serat Surya Ngalam dinyatakan bahwa tampil di hadapan raja tanpa ada panggilan terlebih dahulu dapat dihukum mati. Raja berkewajiban menegakkan keadilan dan memperhatikan kepentingan rakyatnya. Konsep Jawa tentang raja termasuk dalam Serat Manu. Dinyatakan bahwa raja adalah makhluk yang lebih tinggi dari pada rakyat, bahkan dianggap sebagai dewa berwujud manusia. Kehendaknya menciptakan adat dan hukum sabda pandita ratu, namun bila dia melalaikan kewajibannya maka namanya akan jatuh dan dapat diturunkan dari takhta. Salah satu unsur penting dari sebuah kerajaan yang masih berakar ialah wahyu atau pulung ada yang menyebut ndaru, yang dibayangkan sebagai segumpal sinar yang turun kepada seseorang. Penerima pulung mendapat legitimasi untuk menjadi penguasa dan pemimpin. Otoritasnya bersifat kharismatik. Selama pulung berada di keraton, raja berhak tetap memerintah dan duduk di atas singgasana kerajaan. Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam dimana kekuasaan raja sering bersumber pada asal keturunan, karena itu silsilah raja berfungsi sebagai dasar legitimasinya. Raja-raja Mataram membuat silsilah dengan meruntut ke belakang sampai kepada Majapahit, berlanjut ke zaman pewayangan mahabrata dan ramayana yang bersifat mistis, terus ke zaman para nabi. Bahkan sampai sekarang pun di kalangan masyarakat Jawa Tradisional masih kuat kepercayaannya bahwa setiap Raja Mataram mempunyai hubungan spiritual dengan penguasa Laut Selatan, yaitu Nyi Roro Kidul. Dalam kronik Banjarmasin dan Kronik Kutai, raja-rajanya juga menarik garis belakang sampai Majapahit. beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Demak, Banten, dan Cirebon melacak genealogi rajanya kepada para wali, sebagai upaya memperoleh kharisma baru. Sementara itu, di kalangan raja-raja, dalam menarik garis genealogis mereka menghubungkan dirinya dengan negeri Arab sebagai asal nenek moyangnya. Di daerah Sulawesi Selatan, genealogi kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Ternate, dan Soppeng dihubungkan kembali kepada raja pertama yang turun dari langit sebagai Tomenurung dan oleh rakyat diangkat sebagai rajanya. Sejak islamisasi para raja tidak hanya memakai gelar sultan contohnya Sultan Malik as Saleh, tetapi juga mengangkat dirinya sebagai khalifah pemimpin pemerintah dan agama. Untuk Yogyakarta dan Surakarta gelar tersebut masih ditambah dengan panatagama penata dan pengatur kehidupan beragama. Contohnya Raden Mas Rangsang di Mataram bergelar prabu Pandita Anyakrakusuma, dan kemudian berubah menjadi Sultan Agung Senopati Ingalga Ngabdurahman Sayidin Panatagama. nama gelar raja-raja di Yogyakarta dan Surakarta juga mengandung makna kebesaran, seperti Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, dan Mangkunegoro. Raja-raja Melayu sering memakai gelar syah, seperti gelar rasa Persia. gelar sunan yang pada awalnya dipakai para wali, kemudian disandang juga oleh raja-raja Mataram Surakarta, Palembang, dan Kutai. Sedang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Ternate, Sumbawa, dan Banten, gelar raja-rajanya adalah sultan. Beberapa di antara mereka menambahnya dengan khalifatullah, misalnya Sultan Tidore dan Kutai. Selain itu, juga timbul tradisi memakai gelar dan nama Arab. Semuanya ini bertujuan untuk menambah kewibawaan sultan di mata rakyatnya. Dengan gelar tersebut, para raja di kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Indonesia memandang dirinya sebagai pemegang kekuasaan duniawi dan rohani. Sebagai lambang kebesaran dan kekuasaannya, para raja memiliki sejumlah benda pusaka yang dianggap keramat. Pusaka dan Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam Pusaka dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat mempengaruhi lingkungannya, mengembalikan keseimbangan alam dengan menangkal berbagai bahaya wabah penyakit, bencana alam, atau gejolak sosial. Wujud pusaka bermacam-macam. Di Jambi, pusaka berupa keris dan ujung tombak. di Indragiri, berupa payung dan gendang nobat gendang tembaga. Di Sanggau berupa keris, pedang dan gong. Di kota Waringin, berupa pedang-kipas, dua buah singgasana, dan tombak. Di Surakarta dan Yogyakarta, berupa Sawunggaling ayam jantan, banyak wide angsa, kipas, tempat tembakau, tongkat jalan, alat-alat senjata, dan sebagainya. Suatu hal yang menarik adalah bahwa raja-raja juga mempunyai memelihara makhluk-makhluk aneh, misalnya kebo bule kerbau putih, orang kerdil, dan lain-lain. Demikianlah bahasan ringkas kami mengenai konsep kekuasaan pada kerajaan Islam di Indonesia. Semoga tulisan ini ada manfaatnya dan sampai jumpa lagi di lain kesempatan Mas Pur Follow Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw! Home » Agama » Sejarah » Konsep Kekuasaan di Kerajaan Bercorak Islam di Indonesia Oktober 9, 2017 1 min readKonsep Kekuasaan di Kerajaan-Kerajaan Islam – Dalam pemrintahan, sebelum Islam masuk ke Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Buddha, Setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan digantikan perannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, seperti Samudra Pasai, Demak, dan mengukuhkan kedudukan raja di depan rakyatnya, raja-raja kerajaan Islam di Indonesia memakai gelar-gelar kebangsawanan. Pada umumnya gelar atau sebutan raja-raja Islam meneruskan nama-nama yang lazim dipakai para raja-raja Hindu-Budddha. Misalnya, di Jawa, sebutan raja pada umumnya memakai berbagai nama dan gelar, seperti susuhunan penembahan, maulana dan raja. Di Sumatra terdapat beberapa gelar raja Islam, seperti syah, sultan di Kerajaan Samudra Pasai, Aceh, dan sunan di Kerajaan kerajaan di Sulawesi Selatan diterapkan sebutan raja sebelum kedatangan Islam. Misalnya, Sombaya Gowa, Mapayunge Luwu, Mangkau Bone, dan beberapa sebutan lainnya seperti datu, batara, tomanurung, karaengarung, dan matowa. Setelah kedatangan Islam, raja di Indonesia memakai gelar sultan. Di daerah Kalimantan yang berada di bawah pengaruh Demak, seperti Tanjungpura, rajanya bergelar Pate. Di kerajaan Kutai, rajanya bergelar sunan dan di Kerajaan Banjarmasing bergelar sultan. Di daerah Sumbawa, raja-raja Islam memakai gelar proses Islamisasi berkembang dengan pesat di Indonesia, raja-raja kerajaan Islam juga mengangkat dirinya sebagai pemimpin pemerintahan dan agama khalifah. Perubahan fungsi raja tersebut memengaruhi negara-negara Islam di Timur Tengah yang tidak memisahkan antara kekuasaan raja di bidang politik dan agama. Misalnya, gelar-gelar keagamaan di Kerajaan Mataram di raja-raja di Kerajaan Mataram ditambah dengan sebutan Panatagama penata kehidupan beragama. Misalnya raja Mataram pertama memakai gelar Panembahan Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sajidin Panatagama. Sultan Agung sebagai raja Mataram Islam yang terbesar juga memiliki gelar Sultan Agung Senopati Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sajidin Panatagama. Untuk memperkuat legitimasi kekuasaan, raja-raja kerajaan Islam juga menyusun silsilah keturunannya sampai ke zaman para nabi dan orang-orang para raja Mataram yang membuat silsilah mulai dari Nabi Adam, nabi-nabi, hingga berlanjut ke zaman pewayangan dalam kisah Mahabharata maupun Ramayana yang bersifat mistis sampai ke zaman Majapahit, Demak, dan Mataram. Untuk lebih memperuat legistimasinya, para penguasa Islam di Jawa dalam tulisan-tulisan yang ditulis pujangga istana, menyatakan bahwa raja sangat sakti karena dapat berhubungan dengan penguasa Laut Selatan, Nyai Rara itu, raja-raja kerajaan Islam di Demak, Banten, Cirebon, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan menghubungkan genealoginya dengan para wali untuk memperoleh legitimasi spiritual. Sementara itu, raha-raja Siak, Palembang, Aceh, dan Pontianak, menghubungkan garis keturunannya dengan negeri Arab. Selain itu, raja-raja Banjar maupun Kutai sering menarik garis silsilahnya berhubungan dengan Kerajaan Majapahit. Berkaitan dengan sejarah dan perkembangan islam yang berasal dari Ulama ulama Nusantara abang 16-17 Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SEJARAH PERADABAN ISLAMULAMA-ULAMA NUSANTARA ABAD 16-17DISUSUN OLEH 1. LISA RAHAYU 117542021612. PUSPA INDAH HERLIATI 11750425095JURUSAN MATEMATIKAFAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGIUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAUTAHUN 2019 KATA PENGANTARPuji Syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang maha kuasa karna atas berkatRahmat dan Hidayahnya lah yang senantiasa dilimpahkan kepada kita, sehingg adalampenyusunan makalah ini penulis diberikan kemudahan untuk mengumpulkan Referensidalam menyusun makalah mengenai “Ulama-Ulama Abad Nusantara Abad 16-17”Penulis juga sadar bahwa didalam isi makalah yang penulis buat ini sesungguhnya masihbanyak terdapat kekurangan – kekurangan yang seharusnya itu menjadi suatu hal yang sangatSubtansi dalam makalah ini, oleh karena itu penulis sebagai penyusun makalah ini sangatmengharapkan masukan – masukan agar sekiranya makalah ini dapat sempurna sesuai apayang kita harapkan dan juga dapat bermanfaat untuk kita semua. Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terimakasih ketika makalah ini begitubanyak memberikan dampak positif bagi rekan – rekan mahasiswa lainnya, Semoga AllahSWT senantiasa melimpahkan rahmat-nya kepada kita semua . 22 Oktober 2019Penulis1 DAFTAR ISIKATA PENGANTAR ........................................................................................................iDAFTAR ISI .....................................................................................................................1BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................2A. Latar Belakang ....................................................................................................2B. Rumusan Masalah...............................................................................................5C. Tujuan................................................................................................................. 5BAB 2 PEMBAHASAN ...................................................................................................61. Perkembangan Pemikiran Kalam ............................................................62. Aliran-aliran dalam Golongan..................................................................73. Perkembangannya di Indonesia................................................................8a Hamzah Fansuri...........................................................................10b Syamsuddin al-Sumatrani Pasai................................................11c Nur Al-din Ar-Raniri.............................................................................12d Abd. al-Rauf al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili.....................................13e Muhammad Yusuf Al-Muqassari..........................................................15BAB 3 PENUTUP ..........................................................................................................19A. Kesimpulan ................................................................................................19B. Saran ……………………………………………………………............. 20DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................211 BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangSumber-sumber sejarah tentang kegitan islamisasi di Nusantara inisangat sedikit, dan secara keseluruhan catatan-catatan sejarah tentangpengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur danberagam keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal-hal yang sukarterpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak yang bersifat ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengankegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yangmemperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejakabad ke- 7 Masehi. Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsungdi Medan tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam diBanda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantaraabad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab. Di samping itu ada juga yangberpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke- 13 Masehi. Ada satu persoalanlain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimanaIslam pertama sekali masuk. Ada yang mengatakan di Jaya, dan ada yang mengatakan di Barus,namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantaramelalui pesisir Sumatera Utara, yaitu melalui Samudera Pasai Aceh.Sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, Islamtersebar di Nusantara melalui tiga metode, yaitu pengislaman oleh pedagangMuslim melalui jalur perdagangan yang damai, oleh para da’i yang datang keIndonesia, dan dengan melalui kekuasaan. Pengislaman yang dilakukan olehpara pedagang terjadi sejak kontak paling awal antara Islam dengan daerah-2 daerah pesisir pantai Sumatera Utara. Pantai Sumatera Utara merupakanpesinggahan saudagar-saudagar Muslim yang menuju ke asia Timur melaluiSelat Malaka. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentukmasyarakat muslim. Tidak tertutup kemungkinan di antara mereka menjalinhubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islamsambil berdagang, sehingga lama kelamaan penduduk setempat pengislaman berikutnya dilakukan oleh ulama-ulama yangturut dalam kapal-kapal dagang. Mereka mempunyai tujuan khusus untukmenyebarkan Islam. Tome Pires, yang pernah mengunjungi Pasai,menceritakan dalam bukunya Suma Oriental bahwa banyak orang Moortersebut, istilah dalam bahasa Portugis untuk menyebut orang-orang yangterusir dari bumi Spanyol dan di Filipina orang-orang Islam disebut bangsaMoro, yang menebar islam dan muncullah ulama yang berusaha keras danmendorong Raja Pasai Meurah Silu masuk Islam. Pernyataan masuk Islamseorang raja mempunyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi. Tidak lamasetelah itu, keislamannya akan diikuti oleh rakyat, dan berikutnya dilakukanpenyebaran Islam melalui pemakluman perang terhadap kerajaan-kerajaanyang A. Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utaraadalah Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan Perlakmempunyai pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyakulama Perlak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnyasekelompok Da’i Perlak dapat mengislamkan raja Benua. Para ulama Perlak,tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Perlak banyak yang pindah kelingga setelah penyerangan Sriwijaya, sehingga mereka membentukmasyarakat Muslim di sana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaanIslam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting di Sumatera Utara3 adalah Samudera . Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa pada tahun1282 kerajaan kecil Samudera telah mengirim duta-duta dengan namamuslim. Samudera merupakan daerah kecil yang terletak di muara SungaiPeusangan dan mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam diNusantara. Selain itu Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuanagama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam, yang datang dari Arab danPersia, sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam diistana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadipusat keilmuan. Upaya islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memilikipengaruh keislaman yang kuat dan meGnjadi pusat tamaddun Islam di saatitu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir tahun 1521 dimana terjadipenyerangan oleh Portugis. Sultan Ali Mughayatsyah sebagai sultan KerajaanDarussalam pada masa itu membantu Pasai menggempur Portugis danmerampas wilayah mempersatukan dengan kerajaanDarussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalampada tahun leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalammembuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik dibidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran islam mulaiabad 16 sampai abad 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke-17. Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkanberdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungandemi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulamabesar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwatulislam sehinggalahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Semua itumembuat Aceh patut diperhitungkan dalam “peta pemikiran Islam diNusantara. Mekar dan maraknya pemikiran keagamaan menjadikan Acehpusat keilmuan Islam di Nusantara, sehingga banyak orang Islam dariberbagai daerah di Nusantara datang ke Aceh untuk belajar kepada ulama-4 ulama besar Aceh. Murid-murid yang belajar ke Aceh nantinya kembali kedaerah masing-masing, untuk menyebarkan Islam, ilmu bahkan tarekat..Mereka merupakan anak panah penyebaran Islam dan tradisi keilmuan yangberkembang di Aceh. Selain itu kedudukan Aceh sebagai persinggahanjamaah haji Indonesia telah menjadikan Aceh posisi istimewa bagi penyebarandan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran agama Islam. Kehadiranjemaah haji di Aceh sambil menunggu pemberangkatan ke Haramain seringdimanfaatkan untuk belajar ilmu Rumusan MasalahUntuk mengetahui penjabaran dalam makalah ini, maka diperlukankonsep atau daftar pertanyaan atau rumusan masalah guna mempermudahmateri yang dibahas sehingga tidak melebihi atau bahkan mengurangikomposisi dalam makalah. Adapun susunan rumusan masalahnya adalahsebagai berikut1. Bagaimana asal mula perkembangan pemikiran Islam ?2. Siapakah golongan yang membawa aliran-aliran Islam ?3. Bagaimana perkembangan pemikiran Islam di Indonesia ?B. TujuanUntuk mempermudah lintasan dalam penulisan makalah, maka kamimerumuskan beberapa tujuan guna memperjelas keinginan kami dalammenulis makalah ini, antara lain yaitu sebagai berikut1. Mengetahui asal mula perkembangan pemikiran Mengetahui golongan yang membawa aliran-aliran Mengetahui perkembangan pemikiran Islam di IIPEMBAHASAN5 A. Perkembangan Pemikiran Kalam1. Asal MulaDi antara kebudayaan Islam Indonesia dalam bidang intelektual,barangkali, pemikiran kalam akidah adalah yang paling susah ditelusuri. Hal inidisebabkan objek akidah adalah barang gaib, soal keimanan, pelakunya hatimanusia. Ditambah lagi, perkembangan pemikiran ini di Indonesia kurangmembedakan antara akidah, syariah, dan tasawuf. Dalam praktiknya, ketiga ilmuitu menyatu, hanya gelarnya yang tampak berbeda. Sumber ketiganya juga sama,cuma penekanannya yang lain; kalau akidah af ’al hati, syariah af ’al tubuhlahiriyah, maka tasawuf adalah penghayatan terhadap kalam ini di Indonesia datang dan berkembang bersamaandengan datangnya Islam yang dibawa oleh pedagang berasal dari Arab, Persi, danketurunan Arab Gujarat di pelabuhan-pelabuhan Mereka ada yangberpaham Sunni dan Syi’ah. Pada mulanya kedua aliran tersebut berkembanghanya dalam segi teologinya, lambat laun bergulat pada bidang politik. Hal initerjadi ketika golongan Syi’ah yang pernah menjadi kekuatan politik di Nusantarapada kerajaan Perlak dengan sultannya Alauddin Maulana Ali Mughayat Syah303-305 H/915-918 M, ditumbangkan oleh kelompok Sunni dengan sultannyaMahdum Alauddin Abd. Qodir Johan 306-310 H/918-922 M. Dalam kekalahanini, orang Syi’ah mengadakan perlawanan. Puncaknya, pada masa SultanMahdum Alauddin Abd. Malik Syah Johan Berdaulat 334-362 H/956-983 M,orang Syi’ah memaksakan perdamaian dengan memecah kerajaan Perlak menjadidua yaitua. Perlak pesisir, dikuasai Syi’ah dengan sultannya Alauddin SayidMaulana Jarir, Khairiah, Meneliti Situs-situs Awal Peradaban di Pulau Bengkalis, Akademika Vol. 14 No. 2 Desember 2018. b. Perlak pedalaman, dikuasai Sunni dengan sultannya MahdunAlauddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat 365-402 H/986-1023M.Setelah sultan dari golongan Syi’ah wafat, sultan dari golongan Sunniberhasil menyatukan Perlak. Hal ini berlanjut dengan dipersatukannya kerajaanPerlak dengan Samudra Pasai dengan raja pertamanya Malik Aliran-aliran dalam GolonganDi zaman sekarang kaum Muslimin mengenal ajaran Tauhid melaluikarya-karya ulama ilmu kalam atau teologi Islam, terutama rumusan Abu Hasanal-Asy’ari 260-324 H/873-935 M. Sebelum beliau, sebenarnya telah munculbermacam-macam aliran. Ketika Rasulullah wafat, belum ada aliran kalam. Yangmemperkenalkan aliran ini adalah golongan Khawarij, sekitar seperempat abadsesudah Rasulullah wafat, pada peristiwa sesudah perang golongan Khawarij, muncul pula golongan-golongan lain sepertiSyi’ah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, dan akhirnya Asy’ Asy’ariyah disebut juga aliran Ahli Sunnah al Jama’ah, diciptakan olehAbu Musa al-Asy’ari ketika aliran Mu’tazilah dibubarkan oleh Khalifah al-Mutawakkil sebagai akibat kebijakan politiknya yang memaksakan ajarannyakepada semua pihak. Sebagaimana diketahui, Mu’tazilah yang pernah menjadialiran resmi negara pada zaman al Makmun, adalah aliran yang mempunyaipemikiran yang rasionalistik, sedangkan masyarakat, terutama yang awam, masihbercorak tradisional. Oleh karena itu, terjadi benturan yang menimbulkan akibat-akibat dan kekacauan-kekacauan yang diakhiri oleh tindakan al-Mutawakkildengan melarang aliran Mu’tazilah dan mengembalikan kepada Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Dalam masa kekosongan itu tampil Abu Hasan al-Asy’ari menciptakanteologi yang merupakan perpaduan dari sistem tradisional yang dipelopori ahlul2 A. Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Jakarta al-Ma’arif, 1981, hlm. hadis dengan sistem rasional dan menciptakan konsep ketuhanan dengan “sifatdua puluh”nya. Hasil rumusan kalamnya dinamakan golongan Asy’ariyah ataugolongan Muhammad bin Abd. Wahab, pemimpin gerakan Wahabi di Arab,menganjurkan untuk kembali kepada paham Salaf atau asli ortodoks. Beliaumengatakan bahwa tauhid tidak cukup hanya mengatakan bahwa “Hanya adasatu-satunya Tuhan Pencipta Alam Semesta.” Itu adalah tauhid, tetapi baru tauhidrububiyah yang sudah dikenal oleh orang Makkah Jahiliyah. Oleh karena itu,Nabi Muhammad membawa ajaran yang lebih, yaitu tauhid uluhiyah, hanyaAllah yang mutlak disembah sebab hanya Dia yang memiliki sifat keilahiantanpa ada sedikitpun kemungkinan sifat-sifat keilahian itu ada pada yang lain,sebagai atau seluruhnya. Ajaran itu menegaskan bahwa antara Tuhan danmanusia ada perbedaan yang Perkembangannya di IndonesiaTeologi Asy’ari yang disebut Asy’ariyah atau Sunni dan pengikutnyadinamakan golongan Asy’ariyah golongan Sunni. Akan tetapi untuk Indonesia,yang disebut golongan Sunni ini, selain mempunyai arti seperti tersebut di atas,juga diperuntukkan bagi golongan yang mengikuti paham yang berpegangkepada tradisia. Dalam bidang hukum Islam menganut ajaran salah satu mazhabyang empat, dalam praktik menganut kuat Mazhab Syafi’ Dalam soal tauhid menganut kuat ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Kosimal-Junaidy.”33 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta LP3ES, 1982, hlm. Tegasnya untuk membedakan diri dari golongan yang menganut Islam modernmodernisme. Untuk Indonesia, ajaran kalam ini dibahas oleh ulama-ulama yangsekaligus ahli kalam dan ahli tasawuf. Hal ini disebabkan antara pemikiran kalamdan pemikiran tasawuf sangat berkaitan; tasawuf menekankan penghayatan hatidalam beribadah guna mendekatkan diri taqarrub kepada Allah, sedangkanpemikiran kalam lebih menekankan aspek yang berisi alasan-alasan untukmemercayai keimanan; sehingga antara keduanya sulit awal kedatangan Islam, para penyiar agama apabila mengajarkanIslam, tercakup di dalamnya soal akidah, syariah,dan tasawuf. Para walisongo,misalnya Syarif Hidayatullah, mengajarkan ilmu tauhid, ilmu fiqh, tasawuf Walaupun pernah juga ada persaingan Syi’ah-Sunni di sebuah ilmu, aliran kalam di Nusantara, pusat pengembangannyahingga terbentuknya kitab-kitab berisi ajaran kalam dimulai di Aceh sekitar abadke-16-17 M. Aceh pada abad itu mengalami kemakmuran dan kemajuan yangberpengaruh luas di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, kerajaan ini dikunjungibaik oleh para saudagar maupun para sarjana dan ulama yang berasal dari TimurTengah dan India. Kedatangan mereka ini menyebabkan kerajaan Acehmengalami kemajuan yang pesat dalam pemikiran keagamaan kalam kearajaan ini para ulama banyak menulis kitab-kitab dengan hurufArab-Melayu untuk disebarkan ke selurh Nusantara. Di antara ulama-ulamaterkenal itu adalah sebagai berikuta. Hamzah FansuriBeliau merupakan cendekiawan ulama, sastrawan, dan hidup di pertengahan abad ke-17. Ia berasal dari Fansur sebutanorang Arab terhadap kota Barus, sekarang kota kecil di pantai Barat Sumatera4 J. Hagemen, Geischiedernis der Soenda Sejarah Tanah Sunda, Londen NotenVBG, 1911, hlm. antara Sibolga dan Singkel. Kota Barus sudah dikenal sejak abad ke-2Masehi, konon kapal Fir’aun datang ke Barus untuk membeli kapur barusuntuk keperluan membuat ramuan salah satu sebagai seorang cendekiawan, sastrawan, dan budayawan,Hamzah juga pelopor dan perintis bidang kerohanian, menguasai ilmu tafsir,filsafat, bahasa, sastra, dan juga seorang pembaharu. Kritik-kritik yang tajamterhadap perilaku politik dan moral raja, para bangsawan dan orang kayamenempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani di zamannya. Halini menyebabkan kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatanHamzah dan para pengikutnya. Oleh karena itu, dua sumber sejarah AcehHikayat Aceh dan Bustan al-Salatin yang ditulis atas perintah Sultan Acehtidak sedikitpun menyebut bidang keilmuan, Hamzah memelopori penulisan risalah tasawufatau keagamaan secara sistematis dan ilmiah. Sebelumnya masyarakat Melayumempelajari masalah agama melalui kitab-kitab dalam bahasa Arab atauPersi. Di bidang sastra, Hamzah memelopori penulisan puisi filosofis danmistis becorak Islam. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 16 kebanyakanberada di bawah bayang-bayang kejeniusan Hamzah. Demikian pula dalamsyair, puitika estetika dan kebahasaan Melayu, sehingga melalui usahanyabahasa Melayu telah berubah dari bahasa lingua franca menjadi bahasaintelektual yang canggih dan modern. Tidak mengherankan apabila bahasaMelayu pada abad ke-17 telah menjadi bahasa pengantar di berbagai lembagapendidikan Islam, sehingga perkembangannya kelak menjadi bahasapersatuan dan karena adanya pelarangan dan pemusnahan kitab-kitabkarangan penulis wujudiyah pada tahun 1673, baik karena perintah SultanIskandar Tsani 1637-1641 maupun karena fatwa Nuruddin al-Raniri, ribuanbuku karangannya ditumpuk di halaman Masjid Kutaraja untuk Hanya tiga teks risalah tasawuf yang berhasil diselamatkan, yang lain ikutterbakar dan tak pernah sampai kepada antara kitab Hamzah yang selamat yang telah dijumpai tiga risalahtauhid dan 33 ikatan syair. Tiga risalah itu bisa dimasukkan sebagai kitabtauhid yang dikaitkan dengan ajaran tasawuf. Kitab itu adalah sebagai berikut1. Zinat al-Wahidin dikenal juga dengan nama Zinat al- MuwahiddinHasan Para Ahli Tauhid dan Syarab Asrar al-Arifin Rahasia Ahli Ma’rifat.3. al-Wahidin ditulis pada akhir abad ke-16, ketika perdebatantentang filsafat wujudiyah wahdat al-wujud sedang berlangsung. Isinyaditujukan kepada mereka yang baru menapak jalan tasawuf. Di Indonesia,hampir semua orang menduga bahwa ajaran wujudiyah itu adalah martabattujuh. Padahal ajaran martabat tujuh baru berkembang pada awal abad ke-17dengan penganjurnya Syamsuddin Sumatrani. Hamzah Fansuri, jugawalisongo di pulau Jawa abad ke-16 seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,tidak menganjurkan ajaran martabat tujuh. Memang ajaran martabat tujuhtermasuk ajaran wujudiyah tetapi ke dalamnya telah masuk pengaruh Indiaseperti praktik yoga dalam amalan zikirnya, suatu hal yang dikritik olehHamzah Syamsuddin al-Sumatrani PasaiBeliau adalah seorang keturunan ulama. Ayahnya bernama Abdullahal-Sumatrani. Nama lengkapnya al-Arief Billah al-Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani. Ia berasal dari Pasai. Ia belajar kesufian kepada Syaikh HamzahFansuri dan pernah belajar kepada Sunan Bonang di Jawa. Ia hidup danmenjadi mufti pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah Sayidil Mukkamil11 dan Sultan Iskandar Muda. Mahkota Alam Syah, dua orang sultan besarkerajaan Aceh Darussalam. Adapula yang menyebutkan jabatannya sebagaiPerdana Menteri atau Qadhi Malikul Adil, jabatan kedua sesudah sultan. Iamenjadi seorang mahaguru, ahli politik, ahli syariat dan hakikat. Beliau ulamayang menulis kitab-kitab ilmiah sesudah Hamzah Fansuri, terutama mengikuti jejak Hamzah Fansuri, menulis kitabberbahasa Melayu selain kitab-kitab berbahasa adalah penganjurpertama ajaran martabat tujuh di Nusantara beserta pengaturan napas padawaktu zikir yang dianggap oleh Hamzah Fansuri sebagai pengaruh yogapranayama dari India.6 Tidak diketahui secara jelas tahun kelahirannya,tetapi dalam kitab Bustan al-Salatin karya Nuruddin disebutkan SyaikhSyamsuddin Sumatrani wafat tahun 1039 H, oleh A. Hasyim disamakandengan tahun 1630 Nuruddin al-RaniriNama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji binMuhammad Hamid al-Raniri, berasal dari keluarga Arab Ranir RanderGujarat. Mengenai kelahirannya tidak diketahui, wafat tahun 1068 H/1658 ibunya seorang Melayu, ayahnya berasal dari keluarga imigranHadromi. Juga tidak ada kejelasan kapan al-Raniri datang pertama kali kewilayah Melayu, tetapi al-Raniri pernah menjabat sebagai Syaikh al-Islamatau mufti di kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Sani dan SultanahSofiatu al-Din. Pedagang Belanda yang mula-mula datang ke Acehmenyebutnya Moorish Bishop Uskup Orang Muslim yang berkuasa selaintentang masalah keagamaan, tetapi juga masalah politik dan Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,Surabaya Al-Ikhlas, 1980, hlm. Abdul Hadi Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung Mizan, 1995, cet. I, hlm. Al-Raniri memiliki banyak keahlian, sebagai seorang sufi, teolog,faqih, ahli hadis, sejarawan, ahli perbandingan agama, sastrawan, dan juga seorang khalifah tarekat Rifa’iyah dan menyebarkannya ke wilayahMelayu. Di samping itu ia juga menganut tarekat Aydarusiyah dan banyak menulis masalah kalam dan tasawuf, menganut aliran Asy’ariyahdan menganut paham wahdat al-wujud yang mengarang kitab-kitab berisi masalah akidah. Kitab-kitab itu adalahsebagai berikutDurrat al-Faraid bi Syarh al-Aqaid, merupakan penjelasansyarah dari kitab akidah standar yang sudah dikenai waktu ituhasil karya ulama Asy’ariyah Timur Tengah Mukhtasar al-Aqaid karya Najmuddin al-Nasafi.Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, untuk menjelaskan danmembandingkan agama-agama dan kelompok yang dianggapsesat. Dalam kitab ini, al-Raniri memasukkan pengikutHamzah Fansuri dan Syamsuddin termasuk kelompok Abd. al-Rauf al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili 1024-1105 H/1615-1693 MDilahirkan di Singkel, sebelah Utara Fansur di pantai Barat Aceh. Iadiangkat menjadi mufti kesultanan Aceh pada masa Sultanah Zakiyat al-Din1678-1688 M. Ia menuntut ilmu diberbagai tempat di Timur Tengahsepanjang jalur haji dari Yaman ke Makkah, Zabid, Mukha, Tayy, Bayt al-Faqih, Maza. Kemudian melintasi gurun pasir Arabai, belajar di Dukha, Qatar,kemudian ia melanjutkan ke arah barat belajar di Jeddah, Makkah, terakhir diMadinah. Abd Rauf mempelajari ilmu lahir dan ilmu batin. Ilmu lahir adalahtata bahasa, membaca Alquran, tafsir, hadis, fiqih, sedang ilmu batin adalahilmu kalam, tasawuf, kemudian berafiliasi dengan tarekat-tarekat Syattariah,7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung Mizan, 1995, hlm. Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Chistiyah. Ketika ia kembali ke Aceh,murid-muridnya menyebarkan ide-idenya terutama tarekat Syattariyah, diantaranya Syaikh Abd. al-Muhyi, yang setelah belajar kepada Abd. Rauf diAceh kembali ke Pamijahan Jawa Barat dan menyebarkan tarekat Syattariyahsampai ke Jawa Tengah sebagai salah satu kerajaan Islam yang menjadi pusatortodoksi di mana hidup islami dan keulamaan sangat dihormati. Muridnyayang lain sekaligus khalifahnya dan tarekat Syattariyah adalah Burhanuddindari Ulakan di mana suraunya menjadi pusat masalah keagamaan diMinangkabau sampai bangkitnya gerakan Paderi. Surau Ulakan juga berhasilmelahirkan ulama Tuanku Nan Tuo, salah seorang pemimpin gerakan di Aceh, pusat penting lainnya juga berada di Jawa. Pada abadke-18, yaitu kerajaan Banten yang merupakan kerajaan Islam Nusantara yangmengembangkan hubungan internasional, terutama di bawah Sultan AgungTirtayasa, sehingga ulama-ulama dan kitab-kitab juga didatangkan ke Bantenbaik dari Aceh maupun dari negeri-negeri yang jauh seperti Gujarat, Yaman,ataupun negeri Arab. Di antara ulama yang kemudian lahir di Banten adalahSyaikh Yusuf Syaikh Muhammad Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyallah Taj al-Khalwatial-MakassariDikenal di Makassar dengan gelarnya “Tuanta Samalaka,” iadilahirkan pada tahun 1036 H/1626 M, termasuk keluarga kerajaan Gowayang memeluk Islam sekitar 23 tahun sebelum kelahiran Syaikh Yusuf. Sejakkecil ia belajar ilmu-ilmu Islam, kemudian mendalami juga ilmu tahun 1054 H/1644 M, ia meninggalkan Makassar menuju Banten,belajar dengan beberapa guru di Banten, juga menjalani hubungan baik8 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung PT Remaja Rosda Karya, 1999, hlm. dengan keluarga bangsawan Banten. Setelah itu ia melanjutkan ke Acehbelajar kepada Syaikh Nuruddin Yusuf mengembara selama 22 tahun untuk menuntut ilmukeislaman melalui jaringan ulama Internasional. Tiga guru utamanyaNuruddin, Ba Shayban, dan Ibrahim al-Kurani adalah tokoh yang cenderungortodoks, yang memengaruhi keintelektualan Syaikh Yusuf. Oleh karena itu,ketika ia pulang ke negerinya Sulawesi Selatan 1078 H/1667 M, ia inginmensucikan Islam dari sisa-sisa kepercayaan animistik dan praktik-praktiktidak islami lainnya. Syaikh Yusuf ingin memurnikan ajaran Islam sejalandengan syariah yang dikombinasikan dengan pemahaman Yusuf membagi kaum beriman ke dalam empat kategori yaituOrang yang hanya mengucapkan syahadat tanpa benar-benar beriman,dinamakan munafik.Orang yang mengucapkan syahadat dan menamakannya dalam jiwa,dinamakan kaum beriman yang awam al-mu’min al-awwam.Orang yang beriman yang benar-benar menyadari implikasi lahir danbatin dari pernyataan keimanan dalam kehidupan mereka, dinamakangolongan elit ahl al-khawwash.Kategori tertinggi, orang beriman yang ke luar dari golongan ketigadengan jalan mengitensifkan syahadat mereka terutama denganmengamalkan tasawuf dengan tujuan lebih dekat dengan dinamakan “yang terpilih dari golongan elit” khas al-khawwash.Di antara kitab-kitab hasil karyanya yang berisi masalah kalam adalahal-Nafhah al-Saylaniyah dan al-Barakat ulama-ulama abad ke-16,17 dan 18 Masehi, berpusat lebihbanyak di Sumatera, yang karyanya bersifat kosmologis, eskatologi, danspekulasi metafisik, yang karya-karya aslinya baik menggunakan bahasa Arab15 atau Melayu. Juga berpusat di Banten, seperti Syaikh Yusuf al-Makassari danyang lebih belakangan, Syaikh Nawawi al-Bantani dengan karya-karyanyamemakai bahasa Arab. Sedang untuk daerah berbahasa Jawa, kitab-kitabtauhid banyak mempergunakan teks karya ulama Timur Tengah denganbahasa Arab, walaupun nanti pada abad ke-20 mulai ada yangmenerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa atau Madura. Kitan-kitab yangberedar di Jawa abad ke-19 sampai 20 adalah sebagai berikut1. Umm al-Barahim disebut juga al-Durrah karya Abu AbdullahMuhammad bin Yusuf Al-Sanusi = Syarah Umm al-Barahim oleh al-Sanusi sendiri. Dalamedisi yang paling banyak dijumpai teks ini dicetak di tepi halaman,hasyiyahnya dikarang oleh Ibrahim al-Bajuri yang disebut Al-Sanusi = hasyiyah atas kitab al-Sanusi karya Muhammad al-Dasuqiw. 1230 H/1815 M.4. Kifayat al-Awwam, sebagian didasarkan kepada al-Sanusi, karyaMuhammad al-Fadhali w. 1236 H/1821 M.5. Fath al-Mubin, disebut juga Tahqiq al-Maqam ala Kifayat al-Awwamkarya Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri 1260 H/1840 M. EdisiIndonesianya dicetak bersama Tijan al-Durari-Hasyiyah Fath al-Mubin oleh Nawawi Akidah al-Awwam, kitab singkat berbentuk sajak yang dihapal parasantri muda sebelum mengaji Alquran, karya Muhammad al-Marzukial-Makki. Terjemahan dalam bahasa Jawa oleh K. H. Bisri Mustafadari Rembang. Terjemahan dalam bahasa Madura oleh Abd. MajidTamim dari Nur al-Zhulan, syarah Akidah al-Awwam karya Nawawi Jauhar al-Tauhid, uraian singkat dalam bentuk bait sajak karyaIbrahim al-Laqoni w. 1041 H/1631 M.10. Tuhfah al-Murid, syarah Jauhar al-Tauhid karya Ibrahim Jauhar al-Tauhid, syarahdari kitab Jauhar al-Tauhid dengan bahasaJawa karya Soleh Darat dari Semarang dan Ahmad Subhi Masyhadidari 12. Fath al-Majid, karya Nawawi al-Bantani syarah atas kitab Dur al-Farid fi Ilm Jawahir al-Kalamiyah fi Idhah al-Akidah al-Islamiyah karya ulamaSyiria abad modern bernama Thahir bin Shalih al-Jazairi w. 1919 Mdi Damaskus.14. Husun al-Hamidiyah, sebuah karya tentang sifat, kenabian, mu’jizat,para malaikat, dan kehidupan sesudah mati karya Husain binMuhammad al-Jasr Efendi al-Tarablusi w. 1909 M. Buku ini pertamakali digunakan oleh Madrasah Sumatera Thawalib tahun 1930 Akidah Islamiyah karya Basri bin Muhammad H. Marghubi, berbentuktanya jawab karya-karya itu dapat diketahui bahwa batas antara akidahtauhid dan tasawuf di Indonesia sangat samar. Akidah bertujuanmempercayai adanya Tuhan, sedangkan tasawuf bertujuan sampai melihatdengan mata hati ma’rifah kepada Tuhan. Oleh karena itu, karya Al Ghazaliyang terkenal Ihya Ulumuddin dapat disebut kitab tasawuf sekaligus kitabtauhid akidah.17 BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanAwal mula masuknya agama Islam di Indonesia, ternyata memilikibanyak pengaruh terhadap peradaban yang sampai sekarang masih bisadirasakan oleh kita semua. Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya dalam hal pemikiran atau intelektual telah melengkapiperkembangan bangsa Indonesia. Terutama adalah tokoh-tokoh yangmembawa berbagai aliran ke Indonesia sebagai dakwah mereka, dan hal itumampu mewarnai segala sisi agama Islam yang menjadi agama mayoritas dinegeri ini. Di sinilah letak keunikan dan keindahan agama Islam yangberkembang tokoh ulama telah memainkan peranan penting dalamPenyebaran Islam masa awal di Aceh dan memiliki pengaruh yang sangat18 besar dalam dunia Islam. Mereka telah berjuang dan berkiprah dalam usahamemperkenalkan nilai-nilai Islam dan benar-benar mengajak masyarakatuntuk melakukan syariat Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksiajaran yang berpeganghanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Denganmelalui karya-karya kitab yang disusunnya, dan dalam bahasa sastra yangindah sehingga pengamalan nilai-nilai ajarannya dengan mudah dipahami olehmasyarakat pada saat itu. Bukti kejayaan dan kebesaran ulama- ulama besartersebut kini dapat disaksikan sebagai saksi sejarah dengan masih adanyapusara/makam-makam di Banda Aceh dan di Kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut harus tetap dilindungi, dijaga dan dirawat agar dapatdilestarikan kepada generasi mendatang, sebagai cagar SaranBeragamnya aliran memang didasari oleh beragamnya pemikiranmanusia, namun itu bukanlah alasan untuk kita tidak bersatu. Dalam sejarahtelah diajarkan masa lalu yang menjadi pelajaran bagi semua orang, dari sinikita bisa mencari tahu bahwa persatuan merupakan alasan mereka pahlawanberhasil membangun negeri ini. Oleh karena itu, jangan sampai perbedaan-perbedaan ini menjadi pemicu bentrok hingga berdarah-darah. Perlu diingatbahwa keberadaan kita sekarang merupakan sebuah kesempatan yang telahdiperjuangkan orang-orang terdahulu. Bersatu, pahami dan saling apapun itu DAFTAR PUSTAKAJarir, Khairiah, Meneliti Situs-situs Awal Peradaban di Pulau Bengkalis, AkademikaVol. 14 No. 2 Desember Hadi Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya,BandungMizan, Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Jakarta al-Ma’arif, Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan,Bandung PT Remaja Rosda Karya, , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIIdan XVIII,Bandung Mizan, Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,Surabaya Al-Ikhlas, Hagemen, Geischiedernis der Soenda Sejarah Tanah Sunda, Londen NotenVBG, Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta Rajawali Pers, Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,Jakarta LP3ES, ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication. Seorang penjahat di Aceh yang mendapat hukuman potong tangan dan kaki. Foto repro "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680" karya Anthony Reid. Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun, ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya penerapan syariat Islam. “Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,” kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis 6/4. Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales EHESS Paris, Prancis. Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus, Tapanuli Tengah. Claude Guillot, salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259. Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya, penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui dari Alquran maupun hadis. “Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang. Ayang menjelaskan bahwa di Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang. Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata Ayang. Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam hanyalah hukum pernikahan. Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu. Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci. Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya. [pages] Hukuman sula yang kejam juga diberlakukan bagi perzinaan dan pembunuhan. Hukuman ini dilakukan dengan mendirikan bambu runcing. Laki-laki yang bersalah akan ditancapkan pada bambu runcing itu dari bagian belakang hingga tembus ke mulut. Sedangkan pada perempuan, bambu runcing ditancapkan dari bagian depannya hingga tembus ke mulut. Untuk kasus pembunuhan, hukum di Aceh akan mengganjar seorang pembunuh dengan hukuman yang sesuai dengan yang dia lakukan ketika membunuh. Ini menurut kesaksian pelaut Prancis, FranÇois Martin de Vitr yang menjelajah ke Sumatera pada sekira 1601-1603 dan tinggal di Aceh selama lima bulan. Ancaman lainnya, sang pembunuh akan ditangkap lalu ditidurkan untuk selanjutnya dilempar ke atas oleh gajah dan ditangkap oleh gadingnya. Dia kemudian kembali dilempar untuk kemudian diinjak-injak. Kalau bukan itu hukumannya, si pembunuh akan dimasukkan ke kandang macan. “Padahal di Alquran untuk hukum pembunuh ada tiga qisas bunuh balas bunuh, uang tebusan, dan dimaafkan,” ungkap Ayang. Bahkan di Aceh, ketika itu mudah sekali memberlakukan hukum potong tangan dan kaki untuk kesalahan apapun. Ayang menceritakan, hal ini terjadi pada seorang panglima Tiku, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dia ketika itu tak menyerahkan kewajiban upetinya kepada Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan langsung mengambil pedang dan menebas kedua kaki bawahannya itu hingga batas lutut. “Pertanyaannya, apakah ada di hukum Islam? Tidak pernah ditemukan. Artinya apa? Ini hukum adat,” tegas Ayang. Meski begitu, menurut Ayang, bukan berarti hukuman itu merupakan hukum adat khas Aceh. Hukuman semacam ini lumrah ditemukan di belahan dunia lain. Misalnya, di Dinasti Mamluk Mesir yang berdiri sekira abad 13-16 dan Dinasti Khilafah Turki Usmaniah dari abad 16-20. Berdasarkan data sejarah yang ada, Ayang pun mengungkapkan, hukum Islam di Nusantara tak pernah ada formalisasi. Negara tidak menetapkan hukum yang harus diterapkan berdasarkan Alquran, hadis, atau pendapat para ulama. Hukum yang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. “Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam,” ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. Hukum Islam pada masa itu merupakan simbolisasi kekuasaan sultan, bahwa dia adalah cerminan wakil Tuhan. “Tetapi, saya melihat satu sisi dari hukum Islam yang dipraktikkan secara tulus yaitu terkait ibadah. Kalau pidana, ini kan sebenarnya simbol kekuasaan negaranya untuk menghukum rakyatnya. Itu hukum Islam, red 90 persen tidak dipraktikkan,” pungkas Ayang. [pages] - Di Indonesia pada zaman dahulu berdiri banyak kerajaan. Usai kerajaan Hindu dan Buddha, ada pula kerajaan Islam. Apakah siswa sekolah sudah paham? Bagi siswa yang sedang belajar sejarah mengenai kerajaan Islam di Indonesia, maka sebelumnya harus tahu dulu kerajaan Islam pertama di laman Gramedia Blog, masa kejayaan Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan berlangsung pada abad ke-13 hingga abad ke-14. Baca juga Siswa, Ini Prasasti Kerajaan Tarumanegara Pada saat itu, awal mula masuknya Islam di Indonesia bermula dari maraknya perdagangan di Nusantara. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia dilintasi oleh berbagai pedagang dari penjuru negeri pada masa perdagangan kala itu terutama pedagang dari Arab, India, Persia dan China. Pedagang dari Timur Tengah seperti dari Arab dan Persia adalah pedagang yang aktif menyebarkan agama Islam di Indonesia. Penyebaran agama Islam di Indonesia pun tidak secara bersamaan namun secara bertahap. Pada masa penyebaran agama Islam di Nusantara inilah mulai muncul beberapa kerajaan Islam di Nusantara yang mulai bermunculan di berbagai daerah dan berbagai pulau di Indonesia. Sejak saat itu, tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pun mulai berubah dan mengikuti ajaran-ajaran Islam. Tentu, kemunculan kerajaan Islam pertama di Indonesia dimulai sejak penyebaran agama Islam di nusantara semakin pesat dan berkembang. Ada beberapa Kerajaan Islam yang cukup besar di Nusantara saat itu sepertiKerajaan Perlak, Kerajaan Ternate, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Gowa, Kesultanan Malaka, Kerajaan Islam Cirebon, Kerajaan Demak, Kerajaan Islam Banten dan Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Islam pertama di Indonesia Kerajaan Perlak 840-1292 atau Kesultanan Perlak menjadi kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini bahkan yang tertua di Asia Tenggara. Wilayah kerajaan Perlak berada di daerah Aceh Timur. Dinamakan Kerajaan Perlak karena pada saat itu, daerah di Aceh Timur tersebut merupakan daerah penghasil kayu perlak yang mana merupakan kayu yang bagus dan kayu terbaik terutama untuk bahan pembuatan kapal. Baca juga Balai Arkeologi DIY Siswa, Ini Sejarah Kerajaan Mataram Kuno Karena hasil alam yang melimpah dan posisi yang strategis inilah maka perlak menjadi pelabuhan yang cukup ramai pada abad ke-8. Selain itu juga menjadi tempat singgah para pedagang-pedagang dari seluruh negeri salah satunya adalah dari Arab dan Raja pertama kerajaan Perlak adalah Raja Abdul Aziz Syah, kemudian setelah Raja Abdul Aziz syah wafat digantikan oleh Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdrahim Syah kemudian kepemimpinan terus berganti hingga 18 kali pergantian kepimpinan dan hingga akhirnya pada tahun 1292 kerajaan Perlak runtuh. Daftar kerajaan Islam di Indonesia Berikut ini daftar kerajaan Islam di Indonesia 1. Kerajaan Perlak 840-1292 2. Kerajaan Ternate 1257 3. Kerajaan Samudera Pasai 1267-1521 4. Kerajaan Gowa 1300-1945 5. Kesultanan Malaka 1405-1511 6. Kerajaan Islam Cirebon 1430-1677 7. Kerajaan Demak 1478-1554 8. Kerajaan Islam Banten 1526-1813 9. Kerajaan Pajang 1568-1586 Baca juga Siswa, Ini Kehidupan Politik dan Raja Kerajaan Kutai 10. Kerajaan Mataram Islam 1588-1680 Bagi siswa sekolah, itulah daftar kerajaan Islam di Indonesia. Jika ingin lebih jelas, bisa membuka tautan dari Gramedia Blog ini Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

terangkan mengenai konsep kekuasaan di kerajaan islam nusantara